The RK Official Website

20 Nov 2016

Sejarah Desa Wedung pada Masa Penjajahan

Sejarah adalah penting, namun banyak orang di negeri ini yang menganggapnya tidak penting dan mereka cenderung melupakannya.
Dari sejarah itu, kita bisa mengetahui bagaimana perjuangan orang-orang dulu, - nenek moyang kita yang berjuang menggapai cita-cita mereka dan berjuang mempertahankan hidupnya sendiri.

Adalah hal yang memalukan, - pada masa reformasi lalu, Pemerintah Kabupaten Demak mengirim sekelompok utusan ke negeri Belanda untuk mempelajari sejarah Kesultanan Demak, - mungkin ke Universitas Leiden yang kaya akan literatur Jawa dan sejarah kolonial Belanda di nusantara.
Mereka sangat mengandalkan catatan seorang Portugis, assisten Alfonso d'Alburquerque yang bernama; Tome Pires, catatannya sangat terkenal dan dijadikan rujukan para ahli sejarah sampai sekarang.

Misi pemerintah daerah ternyata mengecewakan, utusan pemerintah daerah itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali membawa catatan : "ada gudang garam di dekat Demak dan adanya sekelompok begal yang bersarang di antara Semarang dan Demak."
Maka mengapa para pujangga Kesultanan Demak tidak berusaha menuliskan sejarah mereka sendiri?..... aduhai mengapa budaya tulis di negeri ini amat lemah.

Agar generasi yang akan datang bisa mempelajari sejarah generasi di masa lalu, maka saya berusaha menuliskan sejarah itu, dan semoga ini bermanfaat.

Saya adalah seorang pendatang di Kota Wedung. Saya berasal dari Desa Bungo yang menikahi gadis Kauman Barat.
Saya mendengar kisah-kisah tentang Wedung 'tempo doeloe' dari tetangga-tetangga yang sudah tua dan berusaha menuliskannya, dan berikut ini 7 fakta yang perlu anda baca:
Tempat Pelelangan Ikan Wedung


1. Agresi militer Belanda di Wedung

Pada masa revolusi nasional Indonesia (1945-1949), Belanda melakukan agresi militer ke Indonesia , mereka hendak menjajah kembali setelah 3,5 tahun lamanya diduduki Jepang.
Mereka menduduki kota-kota dan berperang melawan pejuang dari BKR dan Hizbullah. Mereka menjatuhkan bom di dekat masjid Besar Al-falah karena mereka menganggap masjid itu dijadikan markaz perjuangan.
Penduduk Wedung yang ketakutan berusaha mengungsi ke desa-desa lain yang terpencil untuk menyelamatkan diri. Belanda hanya menguasai kota-kota sedangkan desa-desa terpencil masih dikuasai pejuang.
Kemungkinan peristiwa itu terjadi setelah proklamasi 1945 dan sebelum penyerahan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.

2. Pengalihan route Demak - Bungo

Route jalan raya dari Kota Demak menuju Desa Bungo, pada awalnya melalui jalan kampung Buko di samping masjid Ngawen ke arah utara sepanjang 100 m dan kemudian berbelok ke kiri sampai rumah dinas kesehatan dan kemudian berbelok ke kanan hingga jalan raya Angin-angin yang sekarang ramai dan padat.
Namun kemudian pemerintah kolonial mengalihkan route ke 'pertigaan wedung' yang baru saja dibuat, kemudian melintasi halaman Masjid Besar Al-falah dan membelah kuburan Kauman hingga ke jalan raya Angin-angin. Maka yang Anda dapati sekarang adalah terbelahnya kuburan Kauman terbagi menjadi dua: timur dan barat.
Jalan baru yang membelah kuburan Kauman.

3. Adanya pabrik penggilingan padi di kawasan pertigaan

Puing-puing reruntuhan pabrik penggilingan padi itu masih bisa dilihat sampai tahun1990, tepatnya di belakang tugu "Pantjasila".
Pabrik itu adalah milik seorang meneer Belanda dan kemudian dijual kepada seorang pengusaha HM Sulchan, pendiri yayasan badan wakaf Sultan Agung, Semarang dan kemudian dijual lagi kepada seorang pengusaha Ahmad Musnan dari Desa Bungo dan kemudian dijual lagi kepada pedagang-pedagang yang sekarang membuka lapak di situ.
Pada tahun 1980-an di situ didirikan bioskop, namun para ulama' dan pemuda Islam memprotesnya dan kemudian bioskop itu ditutup.

4. Naik perahu untuk mendatangi Grebeg Besar Demak.

Sampai tahun 1955, ketika datang musim Grebeg Besar Demak, orang-orang Wedung mendatangi grebeg itu dengan menaiki perahu.
Perahu berangkat dari dermaga pada sungai di samping Masjid Besar Al-falah, kemudian dia berbelok ke selatan menyusup jembatan Wedung-Ngawen, dan kemudian ketika sampai di Kali Jajar di Desa Serangan atau Jatirogo, perahu mereka berbelok ke kiri - berlayar ke timur sampai di Kracaan, Kota Demak.

5. Keluarnya pedagang etnik Tionghoa dari Wedung.

Pada tahun 1959, Presiden Sukarno membuat peraturan bahwa pedagang etnik Tionhoa dilarang berdagang di desa-desa, mereka harus keluar menuju kota-kota. Peraturan ini dibuat untuk melindungi pedagang pribumi yang kalah bersaing dengan mereka.

6. Letak Mapolsek Wedung yang lama.

Sampai masa orde lama, markas kepolisian sektor Wedung masih berada di seberang selatan Masjid Besar Al-falah di samping Toko Buku "Ihsan Putra". Sekarang bekas kantor itu digunakan untuk bengkel sepedamotor dan toko sepatu.

7. Hanya ada 1 sepedamotor di seluruh kecamatan Wedung.

Jika masa sekarang, jumlah kendaraan di seluruh Wedung itu "tidak dapat dihitung" karena banyaknya, maka sesungguhnya dahulu hanya ada satu sepeda motor di seluruh Wedung, yaitu kendaraan dinas milik Pak Camat
Maka anda perlu bersyukur kepada Allah karena kemajuan zaman, mungkin anda kini memiliki dua atau tiga kendaraan, bahkan memiliki mobil.

Demikian catatan sejarah Wedung yang aneh dan mengagumkan kita, semoga bermanfaat. Wa-Allahu a'lam bi-sawab". Wassalamu'alaikum.

***

Lihat juga:

Sejarah Desa Bungo pada Abad ke-20

Pemancingan di Jembatan Bungo

Dilema SMA Negeri 1 Wedung

Muqaddimah

MENU

1 komentar:

Fakhruddin mengatakan...

Terimakasih sudah berbagi.