The RK Official Website

28 Jun 2016

Angkatan Dagang Sayuran dari Bungo

Di planet bumi ini, di daerah mana saja; Tuhan pasti memberi rizki untuk semua hamba-Nya, dari lumpur  dasar kolam di dusun-dusun terpencil sampai gedung pencakar langit di kota-kota besar.

Di desa Bungo sendiri, penduduk lokal bisa mencari rizki dengan menjadi buruh tani, atau menjadi nelayan, atau berdagang kecil-kecilan atau menjalankan jasa; tukang kayu, tukang batu, tukang jahit atau tukang ojek.

Namun bagi sebagian orang; itu semua belum tentu cocok baginya atau belum tentu disukainya, atau belum tentu datangnya berkesinambungan atau karena faktor malu untuk mengerjakannya.
Dan kebanyakan generasi muda lebih memilih kota besar untuk menambah pengalaman hidupnya.
Maka urbanisasi dan menjadi pedagang sayuran adalah langkah strategis bagi mereka.

Mencari rizki, karunia Tuhan.
Etimology
Kata "sayuran" adalah istilah yang populer bagi profesi ini, sayuran itu sama saja dengan sayur-mayur dalam bentuk jamak, namun barang dagangan yang mereka jual sesungguhnya tidak hanya sayur-mayur saja, tetapi mereka juga menjual lauk-pauk, buah-buahan, rempah-rempah dan lalapan.

Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali berdagang sayuran.
Generasi pertama adalah orang-orang tua yang membawa gerobak dorong. Mereka berjalan kaki, berkeliling dari gang ke gang untuk memasarkan dagangannya.
Setelah mereka sukses, maka mereka mengajak saudaranya, tetangga dan teman-temannya untuk menjadikan bisnis ini sebagai sumber penghidupan.

Di antara pedagang pemula, kira-kira 75% berhasil menjadi pedagang sayuran dan 25% lainnya tidak berhasil.
Banyak faktor yang menyebabkan mereka tidak berhasil; seperti: kurang laku, kurang modal, kurang memahami daerah pemasaran, kurang memahami prilaku konsumen dan bahkan kurang sabar dalam bisnis ini karena keuntungan yang sedikit atau terus-menerus merugi.

Di kota Semarang sendiri ada sekitar 250 total pedangang sayuran dari desa Bungo, mereka berkeliling dari kota bawah sampai kota atas, dari Pucang Gading sampai Ngaliyan, dari Tambaklorok sampai Banyumanik.
Dan profesi seperti ini juga ada di kota Jakarta dan kota lainnya.

Umur para pedagang bervariasi, mulai dari remaja sampai orang tua senior yang memiliki banyak cucu. Berdagang sayuran adalah pekerjaan yang tidak sulit, tidak berat dan tidak membutuhkan modal yang besar.

Para pedagang sedang menata barang dagangannya.
Sistem kerja
Fajar, setelah menunaikan salat Subuh mereka berangkat menuju pasar Johar Semarang. Sebagian mencari barang dari blok Kanjengan dan sebagian lainnya dari Gang Baru dekat Pecinan.


Gerobak dorong adalah armada pertama kali yang mereka gunakan, namun kebanyakan sekarang memakai sepeda motor, sepeda motor roda tiga, becak dorong dan seiring dengan kemajuan usaha; sebagian sudah memakai truk pikap.

Kemudian mereka berangkat menuju daerah pemasaran masing-masing, dari perkampungan padat penduduk sampai perumahan mewah di kota Semarang.
Sebagian pedagang selesai bekerja sebelum dhuhur dan sebagian lainnya selesai sesudah dhuhur, tergantung hasil penjualan.

Padi hari Ahad, banyak pelanggan mereka meninggalkan rumah untuk berlibur akhir pekan di tempat-tempat wisata, sehingga para pedagang sayuran memutuskan untuk libur pada hari Ahad juga.
Pada Sabtu sore; hampir semua pedagang pulang ke kampung halaman untuk melepas rindu dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Dan mereka berangkat kembali pada Minggu malam, atau Senin fajar.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, mereka mengeluh tentang penurunan laba dari hasil penjualan. Ini disebabkan oleh makin banyaknya pemuda Bungo yang masuk ke dalam bisnis ini.
Persaingan dagang di antara mereka sendiri terkadang bisa memicu ketegangan di antara mereka.

Barang dari Gang Baru dikenal memiliki kualitas yang segar.















Armada gerobak adalah praktik yang tertua di antara armada lainnya.
Sebagian kecil para pedagang sudah memakai truk pikap.


Kebanyakan pedagang tinggal sementara di rumah-rumah susun di Barutikung, Bandarharjo dan rumah susun Kaligawe, sedangkan yang lainnya tinggal di rumah-rumah kos.
Rumah susun di barutikung, tempat tinggal sementara


Bagi mereka yang ingin tetap hidup berkumpul bersama keluarga mereka maka mereka berangkat-pulang setiap hari dari desa Bungo.

Sumber penghidupan
Hasil berdagang itu mereka gunakan untuk biaya makan, membeli pakaian, membeli perabot rumah tangga, kendaraan, membangun rumah, biaya pendidikan anak-anak mereka dan bahkan tabungan ibadah haji, bagi mereka yang telah sukses.


Lihat juga:

Ekonomi Desa Bungo

Album Putu Panji

Gudang Ilmu Desa Bungo

Eksplorasi Jembatan Bungo

Membangun Ekonomi Islam di Desa Bungo

Muqaddimah

MENU

Tidak ada komentar: